Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

Pembangunan Ekosistem Ekonomi PGI: Sebuah Catatan Terhadap kegiatan Franchise

(Beril Huliselan)



Catatan ini hanya menyoroti salah satu kegiatan pengembangan ekonomi yang dilakukan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dengan PT. Domisili Pangan Indonesia (DPI), perusahaan franchise yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Secara umum, inisiatif ini bisa dikatakan bermanfaat untuk menghubungkan perusahaan franchise dengan anggota jemaat yang ingin menggeluti dunia usaha. Hal ini paling tidak tergambar dalam tayangan webinar mengenai “Pembangunan Ekosistem Ekonomi Warga Gereja Melalui UMKM (Peluang Kerjasama PGI dengan Domisili Indonesia) di channel Yakoma PGI.

Dalam model kerja sama ini, PGI bertindak sebagai pihak yang menghubungkan DPI dengan anggota jemaat yang berminat menjadi penjual (reseller) berbagai produk yang berada di bawah brand milik DPI, yakni “Gerobakku”. Anggota jemaat yang berminat hanya perlu menjadi anggota DPI dengan biaya sebesar Rp. 2.000.000 dan memiliki kulkas atau freezer, kemudian penjualan produk dilakukan di wilayah domisili masing-masing. Dalam skema kerja sama ini, setiap anggota diharapkan memenuhi target penjualan bulanan sebesar Rp. 2.250.000 dengan bagi hasil sebesar 25% untuk penjualan offline, kemudian 20% untuk penjualan online.

Pertanyaannya, apakah model kerja sama seperti ini berguna? “Ya”, tentu berguna. Dalam situasi pandemi dan ancaman inflasi, model kerja sama seperti ini akan membantu warga jemaat yang memang memiliki minat kuat untuk memulai usaha, tapi memiliki modal yang terbatas. Namun, apabila saya masuk dalam pertanyaan berikutnya, apakah model kerja sama tersebut “berguna dan mendesak” untuk dilakukan PGI? Jawab saya, “Tidak”. Artinya, dalam konteks peran fasilitasi PGI, model kerja sama seperti ini masuk dalam kategori “berguna tapi belum mendesak”. Lalu apa solusinya? Kegiatan yang masuk dalam kategori ini (“berguna tapi belum mendesak”) sebaiknya didelegasikan ke mitra-mitra PGI; tidak perlu PGI menghabiskan waktu untuk urusan bisnis franchise yang belum mendesak, sekalipun berguna tentunya. Di sini PGI cukup menggerakan secara aktif mitra-mitra yang ada, sekaligus menghidupkan network keesaan di Indonesia.

Apabila kegiatan franchise dipandang belum mendesak, lalu kegiatan mana yang masuk kategori “berguna dan mendesak”? Pertama, di sini perlu diingat bahwa PGI sebaginya fokus pada program yang “berguna dan mendesak. Kedua, ukuran “berguna dan mendesak” dilihat pada agenda keesaan yang tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024, sekaligus tantangan krisis keesaan yang ada di dalamnya.

Saya tidak akan membahas persoalan krisis keesaan yang diangkat dalam DKG, hal tersebut sebaiknya dilakukan dalam tulisan lain yang lebih panjang. Di sini saya cukup menyoroti pengembangan ekonomi umat yang menjadi salah satu fokus advokasi PGI dalam agenda keesaan. Lalu di mana letak kategori “berguna dan mendesak” dalam pengembangan ekonomi umat? Letaknya ada pada penekanan agenda keesaan yang menempatkan pemberdayaan ekonomi pada penguatan jaringan oikoumene lokal yang berbasis pada jemaat-jemaat yang terkoneksi satu dengan lainnya. Di sinilah arah advokasi ekonomi harus diletakkan PGI, bukan pada ngurusin franchise.

Dalam konteks ini, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan PGI harus bertumpu pada terkelolanya oikoumene lokal di mana berbagai potensi umat terdata, terkelola dan terkoneksi dalam gerak kemaslahatan bersama. Artinya, prioritas model ekonomi yang diadvokasi PGI haruslah yang bertumpu pada potensi, kekuatan dan interkoneksi gereja-gereja di tingkat lokal untuk kemaslahatan bersama, sekaligus melawan etos dan struktur keserakahan (spiritualitas ugahari).

Di sini saya mencatat 6 point yang bisa diprioritaskan PGI dalam melakukan advokasi ekonomi, yakni: (1) berbasis jemaat lokal (kemandirian jemaat), (2) menggerakan jaringan lintas gereja di tingkat lokal (ekonomi bersama), (3) mendorong pemberdayaan SDM berbasis jemaat dan jaringan oikoumene lokal, (4) berpotensi mendorong ekonomi bersama di tingkat lokal (kemaslahatan), (5) bertolak dari potensi ekonomi umat di tingkat lokal, (6) mendorong pembiayaan alternatif berbasis jemaat dan jaringan oikoumene lokal.

Keenam poin itulah yang saya maksudkan dengan “berguna dan mendesak”. Apabila keenam poin tersebut saya gunakan untuk menilai kegiatan franchise yang dilakukan PGI, maka hasilnya adalah kegiatan tersebut masuk dalam kategori “lemah” terkait kontribusinya bagi arah advokasi ekonomi yang ada dalam DKG, sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini:

Pada tabel di atas, saya menilai kegiatan franchise yang dilakukan PGI menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD) yang biasanya dipakai dalam design quality. Namun, saya menggunakannya secara terbalik, yakni digunakan untuk menilai apakah sebuah produk – dalam hal ini program franchise yang dilakukan PGI – sudah sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi umat yang diharapkan dalam DKG.

Pada sisi kiri saya memasukan 6 poin kebutuhan advokasi ekonomi umat, sementara di bagian atas saya masukan beberapa poin yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha/bisnis. Setelah saya berikan bobot dan mengkalkulasikannya menggunkan  Independent Scoring Method (ISS), nilai yang diperoleh adalah “1,32” atau lemah; di sini 1 = lemah, 3 = sedang, 9 = kuat. Hasil ini tentu bisa diperdebatkan, khususnya dalam konteks penggunaan komponen dan pemberian score dengan melibatkan lebih banyak orang melalui kuesioner. Namun, sejauh analisis yang saya lakukan, kegiatan franchise PGI berkontribusi lemah terhadap advokasi ekonomi yang diharapkan dalam DKG. Karena itu,  kegiatan  franchise tersebut saya kategorikan “berguna tapi belum mendesak”. Solusinya, kegiatan tersebut didelegasikan ke mitra-mitra yang ada sehingga PGI dapat fokus pada advokasi ekonomi yang “berguna dan mendesak”. Apalagi, Sidang Raya PGI 2024 sudah semakin dekat, sementara advokasi ekonomi sepertinya menjauh dari apa yang digariskan dalam DKG.

Di sini PGI dapat belajar dari praktik-praktik cerdas yang digerakkan oleh jemaat, namun hampir tidak ada dukungan dari jaringan oikoumene. PengMas HKI Tiga Dolok misalnya melakukan pengembangan pertanian dalam bingkai implementasi nilai-nilai eco-theology, khususnya environmental stewardship yang menekankan interkoneksi antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan. Kegiatan pertanian ini bisa dikatakan merefleksikan poin kemaslahatan yang diangkat PGI dalam DKG 2019-2024. Selain HKI, beberapa jemaat di Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui motornya Pdt. Matham Melkian, membangun pertanian umat (jemaat) yang menghasilkan ekonomi bersama (kemaslahatan) berbasis potensi lokal. Kita juga dapat menemukan praktik cerdas seperti ini di Mentawai, Nias, Maluku dan Sulawesi Utara. Dengan kata lain, potensi di tingkat lokal tersedia, dan ke sanalah harusnya PGI menempatkan arah advokasi ekonomi.

 

Jakarta,  21 Agustus 2022

  


Catatan Awal Terhadap Garis Besar Pelaksanaan Program dalam Sidang MPL PGI 2021

 

 Jakarta, 17 Februari 2021


(Beril Huliselan)

 

Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), berlangsung pada 25-26 Januari 2021, bisa dikatakan unik, paling tidak bagi penulis. Dikatakan unik karena persidangan ini sepenuhnya berlangsung secara digital dengan peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, sebelum pandemi, PGI telah berusaha memanfaatkan layanan live streaming dan teknologi cloud untuk distribusi kegiatan dan materi, baik di sidang MPL PGI maupun Sidang Raya (SR) PGI. Namun kali ini, mengingat kondisi pandemi, persidangan sepenuhnya berjalan secara digital, dan bisa dikatakan berjalan dengan baik. Selain PGI, gereja-gereja pun terlihat cepat beradaptasi dalam menerjemahkan pelayanan maupun kegiatan persidangan mereka melalui teknologi komunikasi digital. Hal ini perlu diapresiasi, sekaligus menunjukan bahwa tidak semua gereja berada dalam kondisi gagap teknologi; tentunya tanpa mengabaikan kenyataan bahwa masih banyak gereja yang belum memiliki kemewahan tersebut.

Catatan ini dibuat tidak untuk menilai seluruh rangkaian kegiatan MPL PGI 2021, namun sekedar ingin turut membaca dan menggumuli perjalanan gerakan ekumene sebagaimana tergambar dalam laporan garis besar pelaksanaan program 2020, disampaikan oleh Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI dalam sidang MPL PGI 2021. Disebut catatan awal karena penulis belum memiliki laporan lengkap pelaksanaan program PGI 2020, termasuk penyesuaian yang dilakukan terhadap Program Kerja Lima Tahun (Prokelita) PGI 2019-2024. Karena itu, tulisan ini sepenuhnya mengambil informasi dari laporan garis besar pelaksanaan program yang disampaikan dalam sidang MPL 2021 dan disiarkan secara live streaming. Dengan catatan, tulisan yang lebih panjang akan dibuat setelah laporan lengkap diperoleh penulis. Hal ini juga bisa menjadi catatan bagi PGI agar sebelum persidangan MPL, laporan pelaksanaan program yang lengkap bisa didistribusikan kepada kelompok-kelompok studi keesaan agar gerak keesaan di Indonesia bisa dibaca dan diperkaya dari berbagai sudut pandang. Apalagi, keesaan adalah gerakan umat sehingga penting untuk membaca laporan tersebut bersama-sama dengan umat. Hal ini sekaligus mengoreksi posisi yang menekankan bahwa PGI tidak memiliki umat. Posisi tersebut keliru karena gerakan keesaan justru sedari awal lahir dan digerakan oleh umat; tanpa umat, tidak mungkin ada meja keesaan yang disebut PGI. Umatlah yang melahirkan PGI, dan umat juga yang menghidupi PGI. Harapan umat terhadap PGI juga sangat tinggi, dan itu menunjukan posisi kultural PGI di tengah umat.

Berdasarkan catatan yang disampaikan Sekum PGI, Prokelita 2019-2024 telah mengalami penyelarasan mengingat situasi pandemi yang masih berlangsung. Hal ini perlu diapresiasi mengingat apa yang dipertaruhkan adalah agenda keesaan yang ditetapkan gereja-gereja dalam SR PGI XVII di Sumba (2019). Ibarat kita mengendarai mobil dari Jakarta menuju Bandung, kemudian di tengah jalan terjadi hujan lebat yang mengakibatkan sejumlah pohon tumbang dan kemacetan. Situasi ini membuat kita harus mencari jalur dan pilihan-pilihan yang tepat agar tetap tiba di Bandung, dan bukan tiba di Tangerang Selatan.

Dengan kata lain, penyelarasan tentunya tidak untuk mengubah arah bersama yang tertuang dalam Pokok-Pokok Tugas Bersama (PPTB) di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024. Sebaliknya, justru untuk memastikan bahwa kita akan tiba pada tujuan yang telah ditetapkan dalam PPTB tersebut, bukan tiba pada tujuan yang lain.

Dalam konteks pandemi, perlu diingat bahwa persoalan ini (pandemi) bukan sesuatu yang baru sama sekali. Seolah-olah, hal tersebut muncul begitu saja dan tidak pernah menjadi bagian dalam percakapan DKG maupul Prokelita; keliru kalau berpikir seperti ini. Bencana ekologis, di mana pandemi terhisap didalamnya, merupakan isu yang sangat menonjol dalam percakapan sebelum berlangsung SR PGI XVI di Nias (2014). Isu ini kemudian memberi warna yang sangat dalam terhadap DKG dan Prokelita yang lahir setelah SR PGI XVI (Nias) dan SR PGI XVII (Sumba). Bahkan, kelahiran spiritualitas ugahari pun memiliki akar dalam pergumulan mengenai bencana ekologis; bencana yang terkait erat dengan ketidakadilan sosial dan ketamakan manusia. PGI bahkan membuat penelitian khusus mengenai hal ini (ketidakadilan ekologis) dan berupaya menggaungkan tantangan yang telah menimbulkan bencana di berbagai daerah, termasuk sejumlah penyakit yang menimbulkan kerusakan permanen di tubuh manusia. Persoalannya mungkin terletak pada pilihan program dan strategi yang tidak efektif sehingga upaya tersebut belum berdampak dalam kerja-kerja keesaan di tingkat lokal dan wilayah.

Sebagaimana diketahui, Prokelita PGI merupakan penerjemahan PPTB ke dalam program kerja untuk mendorong gerak misioner gereja-gereja dalam mewujudnyatakan bentuk visible dari keesaan yang ada dalam DKG. Di sini, Prokelita idealnya tidak sepenuhnya bertumpu di Salemba 10 (kantor PGI di Jakarta), namun bertumpa pada ecumenical network (gereja, wadah-wadah ekumene dan mitra) yang tersebar di tingkat lokal, wilayah dan nasional; terkoneksi (interconnected) satu dengan yang lain. Karena itu, dalam Prokelita PGI 2019-2024, istilah “transformatif” diikat dengan istilah “ekumene” yang memiliki akar dalam pergumulan di wilayah ecumenical network tersebut.

Kedua istilah ini, yakni “transformatif” dan “ekumene”, bisa dikatakan merangkum apa yang menjadi tujuan (dampak) yang hendak dicapai dalam Prokelita PGI 2019-2024; keduanya saling terkunci satu dengan yang lain dan tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada titik ini, penyesuaian dan navigasi terhadap Prokelita di tengah pandemi yang masih berlangsung perlu dijangkarkan agar PGI tiba pada tujuan yang diharapkan, bukan pada tujuan lain. Di sini peran fasilitasi PGI diuji dalam menavigasi kerja transformatif dengan bingkai ecumenical network. Akankah PGI (termasuk gereja-gereja tentunya) dapat bergerak keluar dari model lama yang telah menjadi bagian dari narasi krisis keesaan?; istilah ini (krisis keesaan) perlu dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan berikutnya.

Apabila diperhatikan, laporan pelaksanaan program yang disampaikan dalam sidang MPL PGI 2021 belum memperlihatkan perubahan mendasar; masih berputar dengan model lama. Karena itu, kondisi yang ada (current state) memperlihatkan besarnya jurang (gap) yang terbentuk apabila dibandingkan dengan tujuan (dampak) yang diharapkan dalam PPTB; tujuan tersebut diterjemahkan lebih lanjut dalam rumusan misi dan tujuan strategis di Prokelita PGI 2019-2024.

Di satu sisi, current state ini perlu dibaca dalam konteks perjalanan PGI selama 1 tahun setelah SR PGI XVII di Sumba, serta situasi pandemi yang masih berlangsung. Namun di sisi lain, current state tersebut memberi gambaran mengenai model navigasi yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan PPTB. Dari sini kita bisa meneropong apakah gerakan keesaan sedang bergerak keluar dari model yang lama? Kemudian, seberapa jauh berada on the right track untuk mencapai tujuan PPTB? Jangan sampai, seperti saya ilustrasikan sebelumnya, kita menjadi seperti orang yang hendak pergi ke Bandung, tapi tiba di Tangerang Selatan.

Pertanyaannya, mengapa current state yang ada belum memperlihatkan perubahan mendasar dan masih membentuk gap yang besar? Pertama, pelaksanaan program dalam gerakan ekumene terlihat masih berputar sekedar pada produksi event dengan kumpulan outputnya (event terlaksana). Kumpulan tersebut kemudian dirangkai menjadi sebuah laporan, atau bisa disebut juga sebagai laporan kumpulan output. Pertanyaannya, apakah produksi event dengan kumpulan outputnya bisa membawa gerakan ekumene ke arah tujuan (dampak) yang diharapkan dalam PPTB? Itu menjadi soal sekunder, bukan prioritas utama; apalagi kalau sudah bercampur dengan kalkulasi untuk kontestasi di sidang raya.

Model ini memperlihatkan kesamaan dengan apa yang berkembang beberapa tahun belakangan. Misalnya, laporan pelaksanaan program PGI 2014-2019, disampaikan dalam SR PGI XVII di Sumba, sesungguhnya memperlihatkan model tersebut; model yang diisi dengan kumpulan output, namun sulit mengukur capaian tujuan (dampak) yang diharapkan dalam dokumen keesaan. Menariknya, dalam SR PGI XVII itu juga, gereja-gereja menyepakati bahwa telah terjadi krisis keesaan. Ini sebenarnya bukan gejala baru, tapi sudah dideteksi lama dan menjadi percakapan dalam berbagai diskusi.

Dalam konteks DKG dan Prokelita 2019-2024, PGI (termasuk gereja-gereja) berhadapan dengan agenda pembenahan ecumenical network, yakni mengurai kemacetan pada simpul-simpul gerakan ekumene dari level jemaat sampai nasional yang berkontribusi terhadap krisis keesaan. Berbagai program PGI 2019-2024, yang lahir dari pergumulan ini, kemudian terangkum dalam tujuan strategis yang menekankan dialog dan aksi dalam jejaring ekumenis, pengembangan formasi ekumenis dan diskursus teologi.

Dalam konteks ecumenical network, laporan pelaksanaan program PGI memperlihatkan kumpulan output yang sulit digunakan untuk mengukur sudah di mana posisi PGI dalam perjalanan menuju arah (dampak) yang diharapkan PPTB. Misalnya, harapan akan terdinamisasinya diskursus teologi, dengan bertumpu pada berbagai simpul gerakan ekumene, hanya diukur dengan penerbitan Buku Almanak Kristen Indoneia (BAKI). Demikian juga dengan keinginan untuk terkelolanya relasi ekumenis, dalam dialog dan aksi, yang diukur dengan kegiatan ibadah rutin. Di luar ini ada diskusi mengenai Papua, namun belum tergambar pergerakan menuju hasil (dampak) yang hendak dicapai dari Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) Papua 2018, dengan ditopang terkelolanya jejaring lintas gereja dan simpul-simpul ekumene di tingkat lokal dan wilayah.

Pada agenda formasi ekumenis, sejumlah kegiatan dilaporkan secara umum sehingga sulit melihat bentuk spesifiknya. Misalnya, kegiatan Interfaith Rainforest (berasal dari inisiatif internasional untuk kampanye perlindungan perlindungan hutan tropis), Greenfaith Indonesia (berasal dari inisiatif ICLEI-inisiatif Local Governments for Sustainability untuk kempanye pengurangan emisi), respons Pandemi Covid-19 dan advokasi korban SARA. Di sini perlu diingat bahwa formasi ekumenis lahir dari kebutuhan untuk memperkuat gereja dan wadah ekumene, di tingkat lokal dan wilayah, untuk masuk dan berperan dalam ruang publik yang majemuk. Pada titik ini, pertanyaan yang muncul, sudah ada dimanakah posisi PGI di hadapan arah (dampak) yang hendak dicapai tersebut? Sulit untuk mengukurnya. Apalagi, terjadi penempatan kegiatan yang tidak tepat. Akibatnya, tidak berkontribusi dalam mengukur arah (dampak) terkelolanya ecumenical network. Misalnya, kegiatan Rainforest dan ICLEI yang sebenarnya lebih pas dimasukan sebagai kegiatan pendukung di dalam tujuan strategis yang menekankan terkelolanya keadilan ekologis dan konservasi lingkungan.

Selain itu, masih belum terlihat arah desain pengembangan formasi ekumenis. Perlu diingat, istilah formasi ekumenis masuk dalam agenda DKG sejak SR PGI XVI di Nias (2014). Akarnya ada pada pergumulan mengenai terjadinya defisit dalam leadership dan inisiatif ekumene di tingkat lokal dan wilayah. Karena itu, dibutuhkan arah formasi ekumenis yang muaranya (dampak) adalah semakin berdayanya berbagai gereja dan wadah ekumene di tingkat lokal dan wilayah untuk masuk dan mewarnai ruang publik yang majemuk. Dulu PGI memiliki kegiatan Pendidikan Oikoumene Kebangsaan (POK) yang bisa berkontribusi untuk turut memperkuat formasi ekumenis. Sayangnya, POK tidak didesain secara berkelanjutan dengan bertumpu pada gereja-gereja dan jejaring pendidikan teologi. Akibatnya, POK pun sulit berkembang dan akhirnya macet.

Dalam konteks agenda transformasi, yang tentunya tidak bisa dipisahkan dengan penguatan ecumenical network, PGI harus mengelola sejumlah program yang terkait dengan peran sosial-ekologis dan penguatan kapasitas gereja-gereja di tengah dampak revolusi teknologi. Apabila dirangkumkan, program-program tersebut mengarah pada terkelolanya potensi gereja dan wadah ekumene (tingkat lokal dan wilayah) dalam transformasi sosial di tengah masyarakat. Ini terkait dengan tantangan pelayanan sosial (kesehatan dan pendidikan), pemberdayaan ekonomi (dengan perhatian khusus pada Papua, Sumba dan Toraja), keadilan sosial (daerah tertinggal, masyarakat adat, kelompok rentan dan konflik agraria), keadilan ekologis (termasuk konservasi lingkungan), jejaring pengurangan resiko bencana, penguatan partisipasi politik warga gereja, teroptimalisasinya pelayanan hukum (termasuk advokasi regulasi dan pergumulan kelompok rentan), peran aktif dalam isu Narkoba dan terkelolanya kepasitas gereja-gereja di tengah tantangan revolusi teknologi.

Laporan garis besar pelaksanaan program PGI mengangkat berbagai kegiatan yang masuk dalam kerja transformatif tersebut; analisis yang lebih panjang perlu dielaborasi dalam tulisan terpisah. Sementara pada tulisan ini, secara umum bisa dikatakan bahwa kumpulan output yang ada belum memperlihatkan arah (dampak) terkelolanya kapasitas gereja di tengah revolusi teknologi dan penguatan peran sosial-ekologis (termasuk dalam isu HAM dan pemberdayaan ekonomi) yang bertumpu pada jejaring ekumene di tingkat lokal dan wilayah. Selain itu, arah pendataan dan pemetaan yang integratif  untuk mendukung agenda kerja sosial-ekologis, HAM dan ekonomi juga belum terlihat. Demikian juga dengan pemberdayaan ekonomi di Papua, Sumba dan Toraja yang tidak muncul dalam laporan. Padahal, ini mendapat sorotan saat berlangsung SR PGI XVII di Sumba (2019) dan Sidang MPL-PGI di Lombok (2020).

Sekalipun demikian, perlu diapresiasi upaya PGI mendorong pemerintah membentuk Tim investigasi dalam peristiwa pembunuhan di Papua. Bahkan, Komisi Hukum PGI ikut terlibat dalam proses investigasi tersebut. Selain itu, pemberdayaan ekonomi warga jemaat yang dilakukan PGI juga merupakan langkah positif, yakni melalui pengembangan situs belanja daring dan pengembangan sentra produksi di Sulawesi Utara. Namun, dalam laporan garis besar program, tidak terlihat sejauh mana desain dan pelaksanaan pemberdayaan ekonomi umat bertumpu pada penguatan institusi gereja dan simpul ekumene lokal; ini terkait dengan penyiapan kelembagaan, program, sumber daya manusia, network, daya dukung finansial dan teknologi. Dalam kegiatan situs belanja daring misalnya, tidak terlihat penguatan institusi gereja untuk menjadi pemegang kendali pemberdayaan ekonomi umat. Padahal, beberapa gereja memiliki kemampuan. Aktivitas yang ada lebih terlihat bergerak di luar institusi gereja. Dampaknya, kontinuitas program bisa terganggu dan peran gereja yang tidak menonjol; saat ini, misalnya, situs belanja daring tersebut (http://openpo.online/) belum bisa berjalan lagi. Demikian juga dengan pengembangan sentra produksi di Sulawesi Utara, belum terlihat seperti apa desain penguatan institusi gereja dan simpul ekumene lokal. Di sini perlu diingat bahwa arah pengelolaan peran sosial-ekologis, termasuk isu HAM dan pemberdayaan ekonomi, justru harus bertumpu pada penguatan gereja dan wadah ekumene lokal (ecumenical network). 

Dalam gerakan ekumene, pergulatan terbesar kita bukan sekedar pada doing ecumenical things, tapi lebih pada doing things ecumenically. Di sini, gereja-gereja merefleksikan diri dan merumuskan kehadirannya dalam interkoneksi dengan yang lain. Karena itu, ecumenical things harus diletakan dan dibaca dalam bingkai ecumenical network. Di dalamnya, penguatan gereja dan simpul-simpul ekumene berlangsung di berbagai level, serta terjadi proses rethinking yang mendorong gereja-gereja terus memperbarui dirinya.

Hal kedua, terkait current state yang belum memperlihatkan perubahan mendasar, adalah agenda keesaan dalam Prokelita PGI masih bertumpu di Salamba 10. Dengan kata lain, masih terjadi semacam “Salembanisasi” dalam pengelolaan agenda keesaan yang kemudian diterjemahkan ke dalam Prokelita PGI. Ini bukan hal yang baru, namun sudah berlangsung lama.

Ketiga, Prokelita disusun dengan meletakkannya pada agenda bersama gereja-gereja dan daya dukung untuk implementasinya. Karena itu, tidak bisa kegiatan dibongkar pasang atau dimasukan secara mendadak tanpa melihat alurnya. Setiap program dan tujuan yang ada (dampak), pada dasarnya, terikat dengan indentifikasi dan analisis masalah yang panjang; tidak muncul begitu saja. Persoalannya, di tengah jalan kadang kegiatan-kegiatan tertentu dimasukan atau dipindahkan tempatnya tanpa melihat dampaknya terhadap alur desain program. Ini bisa mempersulit upaya untuk mengukur tujuan (dampak) yang hendak dicapai dalam PPTB. Misalnya, kegiatan Rainforest dan ICLEI yang saya singgung di atas. Kemudian, pengembangan situs belanja daring yang sebenarnya terkait dengan pemberdayaan ekonomi justru tidak ditempatkan dalam tujuan strategis yang menekankan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian juga dengan penanganan khusus Pandemi Covid-19 (GMC-19) yang dilaporkan secara terpisah dari jalur Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Padahal, Pandemi Covid-19 adalah bencana dan jalurnya sudah ada dalam Prokelita 2019-2024. Karena itu, penangananya harus diletakkan pada jalur bencana agar memperkuat PRB dan turut mendukung tujuan terkelolanya jejaring gereja dalam pengurangan resio bencana.

Keempat, tujuan strategis yang menekankan penguatan kapasitas kelembagaan dan kinerja struktural PGI tidak muncul dalam laporan garis besar pelaksanaan program; tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut. Padahal, ini dibutuhkan agar program yang ada ditopang oleh struktur, mekanisme, skill dan daya dukung finansial yang baik. Sulit rasanya berbicara mengenai program dan arah (dampak) yang hendak dicapai dalam PPTB apabila tidak didukung penguatan kapasitas kelembagaan.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa belum terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan gerakan ekumene. Karena itu, gap yang terbentuk pun masih lebar di hadapan tujuan (dampak) yang diharapkan dalam dokumen keesaan, khususnya PPTB. Apa yang terlihat baru sebatas kumpulan event dengan output yang belum bisa mengukur capaian (dampak) yang diharapkan PPTB.

Saat ini, PGI dan gereja-gereja sudah melalui tahun pertama pelaksanaan Prokelita 2019-2024. Artinya, masih tersisa 3 tahun lagi untuk melakukan navigasi menuju harapan (dampak) yang ada dalam PPTB. Kenapa demikian? Karena biasanya 1 tahun sebelum sidang raya dilaksanakan (berikutnya pada 2024), waktu yang ada tersita untuk persiapan berbagai kegiatan pra-sidang raya dan sidang raya itu sendiri, serta tentunya penyiapan sejumlah laporan ke persidangan. Ini belum lagi, 1 tahun menjelang sidang raya, berbagai pihak akan memaksimalkan waktu tersebut untuk melakukan “kampanye” dalam rangka kontestasi pemilihan eksekutif di sidang raya.

 

*******


Mengenang Perjalanan Bersama Gendo

(Beril Huliselan)

  Jakarta,  12 Februari 2021


Di tengah keasikan mempelajari beberapa dokumen untuk sebuah catatan evaluatif, mendadak waktu seakan berhenti dan mulai bergerak mundur ke masa lalu saat kabar duka itu tiba. Sulit rasanya melanjutkan catatan evaluatif saat mendengar kepergian seorang sahabat menuju keabadian. Entah kenapa dia harus pergi di tengah usianya yang masih produktif, meninggalkan keluarga dan orang-orang yang mengasihinya. Hidup seperti memiliki jalannya sendiri, dan kerap kali sulit dipahami.

Nama panggilannya Gendo, dan nama itu pertama kali saya dengar saat mulai mengenalnya. Entah kenapa dia dipanggil Gendo, tapi nama itu familiar di dunia kantin Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Dan sebagai salah satu penghuni kantin, saya pun berkenalan dan terlibat dengan berbagai percakapan yang santai dan mengasikan dengan Gendo. Selain di kantin, kami kadang berbincang-bincang di depan kampus, di sudut tertentu dalam kampus STT Jakarta atau di ruang perpustakaan.

Ohhh iya, nama lengkapnya Edwin Paulus Saragih, S.Si. (Theol). Saya terbiasa memanggilnya dengan sebutan “Win”, bukan Gendo. Namun di dunia kantin, orang mengenalnya dengan panggilan Gendo. Pengalamannya luas di dunia penerbitan. Dia begitu bersemangat saat mengolah berbagai naskah sampai menjadi buku yang siap dipasarkan. Bagi saya, kerjanya sangat cepat. Dia terlihat begitu menguasai dunia tersebut. Kepada saya dia pernah bercerita bahwa dunia penerbitan membantunya untuk sintas di tengah kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Dunia ini juga yang membantu biaya kuliahnya.

Saya rasa kemandirian merupakan salah satu Lesson learned yang saya dapat dari Gendo. Dia tidak memiliki kemewahan seperti mahasiswa lainnya. Namun, dia memiliki semangat untuk terus “mendayung” di tengah persoalan ekonomi. Cara dia berbicara, sejauh yang saya alami, selalu bersemangat dan optimis; orangnya rame banget. Sementara saya kebalikannya, selalu pesimis. Gendo mungkin seperti gas, dan saya seperti rem. Yahhh… paling tidak kita bisa saling mengingatkan.

Sepertinya pengalaman ini juga yang mendorong Gendo menulis skripsi, untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi, mengenai Rasul Paulus dan kemandirian seorang pelayan. Gendo meyakini bahwa Rasul Paulus dapat menjadi model bagi para pendeta, model yang mengawinkan pelayanan dan kemandirian ekonomi. Karya skripsi tersebut bahkan sudah dia layout dan cetak secara terbatas dalam bentuk buku. Sayang, saya tidak memiliki cetakan tersebut.

Selain kemandirian, sikap optimis juga merupakan Lesson learned berikutnya yang saya peroleh dari Gendo. Kadang hidup tidak berpihak kepada kita, namun jangan juga kehilangan harapan. Rasanya semangat ini turut mendorong Gendo untuk menyelesaikan studinya, dan namanya pun menghiasi berbagai terbitan; saya sempat cek melalui google, dan ternyata banyak terbitan yang lahir dari tangannnya.

Gendo sangat membantu saya saat mulai bergumul dengan dunia penerbitan, yakni waktu bekerja di Unit Publikasi dan Informasi (UPI) STT Jakarta. Dia mengajari saya menggunakan beberapa software untuk kebutuhan penerbitan, memperkenalkan tips dan trik dalam mengelola naskah, cara menghitung biaya penerbitan, teknik sederhana membundel kumpulan naskah menjadi buku dengan model lem punggung dan jilid steples, cara memeriksa kualitas cetakan, dan tentunya akses untuk percetakan dengan modal yang terjangkau. Gendo juga beberapa kali memberi masukan mengenai pemasaran, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pada toko buku yang kerap kali menerapkan potongan besar terhadap buku yang kita titip jual (konsinyasi).

Dalam suatu percakapan, Gendo bercerita bahwa dia mulai terlibat di dunia penerbitan dari nol, tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan sama sekali. Namun, dia belajar dari banyak orang sampai akhirnya bisa terlibat lebih jauh dalam penerbitan.

“Apa yang gua dapet, gua bagi juga bang, gak mau pelit ilmu gua”, begitu kira-kira Gendo menjelaskan kenapa dia mau berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada saya. Bukan cuma ilmu, tapi dia juga berbagi keuntungan, khususnya saat mendapat pesanan untuk mengelola naskah menjadi buku. Uang yang diperoleh digunakan juga untuk traktir saya dan teman-teman. Kadang saya mengingatkan Gendo agar jangan sering traktir orang karena uang yang dia peroleh harus dikelola untuk kebutuhan hidup dan kuliah. Tapi begitulah Gendo, rasanya ada yang kurang kalau tidak berbagi dengan teman-teman saat dia memperoleh uang dari aktivitas penerbitan. Saya pikir ini merupakan Lesson learned ketiga yang diberikan Gendo, yakni hidup itu harus berbagi. Apa yang kita miliki, jangan disimpan sendiri.

Suatu saat saya ingin agar tulisan (paper) para mahasiswa STT Jakarta, yang dipresentasikan di ruang kuliah, bisa diolah ke dalam jurnal khusus mahasiswa. Saat itu STT Jakarta memang memiliki jurnal teologi, namun biasanya diisi oleh sejumlah pakar. Nah, saya ingin ada jurnal yang khusus memuat paper mahasiswa. Bagi saya, banyak paper mahasiswa yang bagus. Karena itu, sayang kalau dibiarkan begitu saja dan tidak diolah ke dalam sebuah terbitan. Saya kemudian menyampaikan ide ini ke Gendo, tapi masalahnya kita tidak memiliki dana untuk mewujudkannya. Kepada Gendo saya katakan, “saya cuma punya Rp. 1.000.000, dan ini tidak cukup untuk mewujudkan jurnal tersebut”. Bagi saya, bagaimana mungkin dengan Rp 1.000.000 kita bisa membayar honor para penulis dan ongkos cetak, tidak mungkin. Namun Gendo memiliki pembacaan yang lain, dia meyakinkan saya bahwa kita bisa mewujudkannya. Akhirnya, saya dan Gendo mulai menyampaikan ide ini kepada beberapa mahasiswa, dan mereka mulai mengumpulkan sejumlah paper yang bisa diterbitkan; seingat saya, Sterra Gerrits dan Favor Bancin turut membantu kami.

Saat itu, kami tidak memberi honor kepada para mahasiswa yang papernya diterbitkan. Namun, sebagai gantinya, kami memberikan beberapa eksemplar jurnal kepada mereka; maklum dana kami hanya Rp 1.000.000. Di tangan Gendo, dana yang sangat terbatas tersebut kemudian diolah. Hasilnya, berbagai paper mahasiswa bisa terbit dalam bentuk jurnal mahasiswa. Entah bagaimana dia memaksimalkannya, tapi kerja kerasnya membuat hal ini terwujud.

Jurnal tersebut diberi nama “Kurir” oleh teman-teman mahasiswa. Tampilannya sederhana, namun ada kebanggaan di situ. Saya senang karena berbagai karya mahasiswa bisa diterbitkan, dan kita melakukannya dengan dana yang praktis tidak mungkin untuk menerbitkan sebuah jurnal. Semua itu bisa terjadi karena kerja keras Gendo, dan saya sangat berterima kasih untuk kontribusinya. Saya rasa ini bagian dari keyakinan Gendo bahwa hidup itu harus berbagi. Apa yang kita miliki, jangan disimpan sendiri.

Suatu saat, dalam kegiatan akreditasi terhadap STT Jakarta, Jurnal Kurir ikut ditampilkan. Saat melihat hal tersebut, saya teringat Gendo. Kerja keras dialah yang memungkinkan jurnal tersebut bisa terwujud, dan akhirnya tampil dalam proses akreditas STT Jakarta. Saya membaca hal ini sebagai salah satu pemberian Gendo kepada STT Jakarta dan teman-teman mahasiswa.

Saya dan Gendo sebenarnya ingin menerbitkan Jurnal Kurir edisi berikutnya, namun kami tidak memiliki dana untuk mewujudkannya. Jurnal itu pun hanya terbit sekali, setelah itu tidak terbit lagi. Tapi tidak masalah, kami tidak berkecil hati. Kami tetap bangga karena pernah merealisasikan ide yang saat itu sulit diwujudkan. Bahkan, hasilnya bisa ditampilkan dalam proses akreditasi STT Jakarta. Yesss we did it my friend šŸ’Ŗ

Saya kadang melalui malam dan pagi bersama Gendo. Tidak sering memang, biasanya saat kami sedang mengerjakan penerbitan atau sekedar nongkrong di depan kampus STT Jakarta. Salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya adalah ketika kita bekerja sama menyelesaikan buku untuk orasi Dies Natalis STT Jakarta ke-68, pada 2005. Buku tersebut berjudul Perang-Perang Salib - Hantu dari Masa Lalu, Bagi Masa Kini dan Masa Depan Bersama Islam dan Kristen, karya Pdt. Dr. Yusak Soleiman; jumlah halamannya sangat banyak. Di luar itu, masih ada buku acara yang memuat susunan acara, tata ibadah dan nama para wisudawan; maklum saat itu kegiatan wisuda masih digabung dengan Dies Natalis.

Saya dan Gendo bekerja sama untuk memeriksa bahan-bahan yang ada, melayout isi dan sampul (cover), memperbanyak bahan yang sudah dilayout, menyusun ribuan lembar menjadi buku dengan model lem punggung untuk buku orasi dan jilid steples untuk buku acara (kami mengerjakannya secara manual, tidak di percetakan), kemudian bulak-balik ke toko kertas untuk merapihkan buku menggunakan mesin pemotong.

Kami melakukannya selama beberapa hari, melewati malam bersama, bahkan kadang sampai pagi. Kadang kami meluangkan waktu sejenak, di tengah malam, untuk makan indomie rebus, menikmati kopi hangat dan ditemani beberapa batang rokok. Saat itu belum ada Gojek. Namun, kami bisa memesan indomie rebus (pakai telur tentunya) dan kopi karena pak Ewo (penjual indomie dan kopi di depan kampus STT Jakarta) sudah memiliki telepon selular. Beliau menerima pesanan melalui telepon selular, dan mengantarkannya langsung ke tempat kerja kami. Kadang kami pergi ke depan kampus atau ke Kito, rumah makan Padang yang terletak di seberang STT Jakarta.

Proses pengerjaannya cukup melelahkan, namun mengasikan. Sehari menjelang Dies Natalis, saya dan Gendo mengerjakannya sampai pagi di STT Jakarta; beberapa teman juga ikut membantu, tapi mereka tidak sampai pagi. Setelah selesai, kami kelelahan sehingga tidak bisa mengikuti acara Dies Natalis STT Jakarta ke-68. Saya dan Gendo saat itu pulang, mengingat hari sudah pagi, dan kemudian terlelap dalam mimpi. Kami tidak hadir, tapi hasil kerja kami hadir dan digunakan oleh para undangan. Bagi saya, peran Gendo sangat besar dalam menyiapkan buku orasi Perang-Perang Salib dan buku acara Dies Natalis yang digunakan oleh para undangan tersebut. Terus terang, tanpa bantuan Gendo, saya tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan naskah yang begitu banyak. Bagi saya, mengingat Dies Natalis STT Jakarta ke-68 berarti mengingat kontribusi Gendo bagi saya. Rasanya seperti Tuhan menolong saya melalui peran Gendo yang hadir saat itu.

Beberapa hari kemudian, saya mampir ke tempat tinggal Gendo; tempat tersebut juga berfungsi sebagai ruang kerjanya. Saat itu hari masih pagi, mungkin sekitar jam 07.30. Kami berdua kemudian duduk bercerita di depan tempat tinggal tersebut, sambil menikmati kopi dan rokok tentunya. Rasanya luar biasa nikmat. Seperti habis perjalanan panjang, kemudian bersantai sejenak menikmati kehidupan.

Saya kemudian masuk ke dalam ruang kerja Gendo. Tempatnya sederhana, dan agak berantakan di sana-sini, tapi mengasikan. Saya merasa at home di tempat tersebut. Rasanya seperti berada di suatu tempat di mana kita seakan larut di dalam kerja dan menikmatinya. Saya rasa tempat seperti ini juga merefleksikan keberadaan Gendo, yakni orang yang begitu menikmati kerja penerbitan dan larut di dalamnya. Kerja yang juga berkontribusi bagi dunia penerbitan di STT Jakarta.

Waktu saya berada di UPI STT Jakarta, hampir semua terbitan dikerjakan bersama Gendo, termasuk berbagai edisi Jurnal Teologi Proklamasi. Gendo seperti bahan bakar yang membantu saya untuk terus bergerak dengan berbagai terbitan. Dia mengajari saya dari nol sampai kita berdua bisa berkolaborasi dalam kerja penerbitan. Dia menjadi sahabat seperjalanan yang membagi berbagai hal yang dimilikinya.

Setelah saya tidak bekerja lagi di UPI STT Jakarta, komunikasi tetap jalan, namun lebih sering melalui telepon. Seperti biasa, kami bercerita mengenai dunia penerbitan dan gereja. Perjumpaan secara fisik sudah tidak seintens waktu kita berkolaborasi di STT Jakarta, apalagi setelah Gendo balik ke Sumatra Utara dan menikah. Masing-masing larut dengan kesibukannya.

Beberapa kali Gendo sempat menghubungi saya dari Sumatra, dan kami bercerita mengenai penerbitan dan survei di era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Rupanya selain masih menangani penerbitan, Gendo juga aktif di kegiatan survei Pilkada. Kami pun berdiskusi mengenai soal populasi, sampel dan Quik-count. Gendo sempat bercerita bahwa di sedang mengembangkan aplikasi yang dapat membantu kebutuhan survei di daerah. Luar biasa, saya tidak menyangka kalau Gendo bisa bergerak sampai sejauh itu. Dia selalu punya kemauan yang besar, dan optimis.

Seingat saya, pada 2015 atau 2016, kita pernah bertemu di Siantar. Waktu itu ada acara PGI, lalu malamnya kami pergi bersantai sejenak di salah satu rumah kopi. Tanpa saya duga, rupanya Gendo juga muncul di situ, dan kami bercerita sambil menikmati kopi. Dia masih seperti dulu, selalu bersemangat saat bercerita, dan tentu dengan senyumnya yang khas.

Gendo itu orangnya rame, selalu banyak cerita dan optimis. Terus terang, saya orang yang berhutang pada Gendo. Dia mendampingi saya waktu bergumul dengan dunia penerbitan, memberi optimisme dan mengajari saya berbagai hal. Entah bagaimana membalas kebaikannya, apalagi dia sudah pergi untuk selamanya.

Saya hanya bisa mengenangnya di dalam ingatan dan hati, lalu menuangkannya di dalam tulisan untuk mengabadikan kontribusinya. Mungkin tidak banyak orang yang mengingat Gendo, dan itu pun akan hilang seiring berjalan waktu. Tapi saya mengingatnya dan tidak melupakan kebaikannya. Doa saya untuk istri, anak dan keluarga yang ditinggalkan. Kasih dari Tuhan Yesus menyertai, menguatkan dan memberi kelimpahan bagi mereka.  

Rasanya ingin lagi ngopi dengan Gendo, bersama beberapa teman, untuk mengenang perjalanan kita kala itu. Pasti akan banyak cerita dan tawa saat mengingat kembali jatuh bangun kita melewati perjalanan tersebut. Sayang, Gendo sudah pergi untuk selamanya. Namun, dia akan terus hidup dalam ingatan, hati dan melalui tulisan ini.

"So goodbye my friend
I know i'll never see you again
But the time together through all the years
Will take away these tears
It's ok now...
Goodbye my friend" šŸ˜¢
(Linda Ronstadt - Goodbye My Friend)


 

 

 

The WCRC and the Problem of Ecumenical Partnership in Indonesia



                                                                                                                Jakarta, 15 June 2017

 

(Beril Huliselan)

 

As we all know, the 26th General Council of the World Communion of Reformed Churches (The WCRC) will be held in Leipzig (Germany) from 29 June to 7 July 2017 under the theme “Living God, renew and transform us”. This theme echoes the spirit of the 26th General Council, which is to reflect its heritage and to transform it for the transformation of the world. This position is clearly shown in Chris Ferguson's (the WCRC general secretary) statement that renewal of church thinking, acting, and understanding in a radical way is imperative for the WCRC. Right at this point, I want to make some critical notes about the form of presence that the WCRC chose in Indonesia, namely the founding of the regional council.

Many things need to be critically reviewed in the context of ecumenical challenges in Indonesia, especially considering the increased divergence of its landscape. However, in this writing, I just want to focus on the issue of ecumenical partnership that has been part of the ecumenical journey since the era of the 1960s and is still important now. This idea (ecumenical partnership) is important in the ecumenical movement because it places local churches (fellowship of churches at a local level) as the center of the ecumenical journey. That means all ecumenical talks and achievements should have an impact at a local level. And on the other side, all challenges at a local level should also have an impact on ecumenical talks and achievements at various levels (national, regional, and international). 

Right at this point, I want to make some critical notes about the founding of the WCRC regional council in Indonesia based on the significance of the local churches. To put it simply in one question, is a regional council the right form of presence for the WCRC to respond to the complexity of the situation at a local level in Indonesia? For me, frankly speaking, the answer is “no”. Why? First, because the founding of the regional council in Indonesia showcases how the WCRC has moved away from the CWCs theological position — made in the CWC conference of 1967 — to encourage its member churches to form church unions in their locus. In other words, to help churches at a local level to grow together in their locality and to find a way for local convergence between different churches at a local level. In this context, the founding of the WCRC regional council in Indonesia is counterproductive to that purpose, including the problem of dividing lines at a local level.

Second, the reality of the ecumenical movement in Indonesia showcases how churches at a local level have been living almost without an effective local ecumenical table for many years; the table where different churches at the local level get connected one another to reflect their common life and mission as the people of God. If the WCRC is committed to the idea of ecumenical partnership, then this problem should get more attention so that all ecumenical talks and achievements can be translated at a local level. By doing this, the WCRC also helps the Communion of Churches in Indonesia (the PGI) to develop an effective ecumenical structure at a local level that will: (a) connect local churches to other levels of the ecumenical movement and (b) helps churches overcome the poor level of communication as shown in the 2013 ecumenical survey in Indonesia. Unfortunately, until now churches in Indonesia still don’t have an effective ecumenical structure at a local level.

Third, according to the 2013 ecumenical survey in Indonesia, many churches see the biggest challenges they’ve been facing for the last ten years are the issues of human rights, poverty and ecology. These issues are not easy to deal with because: (1) churches have lack human resources and experience in these issues, (2) the problem of weak ecumenical structure at a local level, (3) theological gap between churches, and (4) the overlapping church identities (confessional identity, sense of territory and ethnic identity) that bring tension in the mission field. In the 2016 research on ecological justice and church response in Indonesia, we can see the other factors that weaken the church's role in 
facing the current challenges, namely conflict of interest between churches and church institutional weakness. In this context, the founding of the WCRC regional council in Indonesia is like taking a direction that is not connected to the real challenges at a local level, even contradicting it.

Fourth, many inter-church and intra-church institutions in Indonesia finally make the ecumenical landscape become a bit crowded and have an impact on ecumenical architecture in Indonesia that looks confused and ineffective. That’s why in some areas, according to the 2013 ecumenical survey in Indonesia, these different institutions even compete with one another because of different agendas and interests they have. If we compare it with the 2016 research on ecological justice and church response in Indonesia, we also can see how these different institutions play a weak role (ineffective) in facing ecological injustice at a local and national level.

Fifth, the 2013 ecumenical survey showcases the tendency of growing institutionalization of the ecumenical movement in Indonesia. This problem has made confessional identity, sense of territory, and ethnic identity finally being institutionalized in church existence. That's why, sectoral and jurisdiction
al ways of thinking are growing and have an impact on the mission field, church institutional culture, and other parts of church life.

All of these issues raise serious doubts about the WCRC's form of presence in Indonesia, especially the regional council. This type of presence is largely unrelated to the genuine issues that many churches in Indonesia experience at a local level. If the WCRC wants to transform its heritage to respond to the current challenges in Indonesia, then some challenges that I mentioned above should be put into consideration to bring renewal of its presence in Indonesia. I think the 26th General Council is the right time for the WCRC to do it. As I said before, Chris Ferguson (the WCRC general secretary) already made a very strong statement that renewal of the church is imperative for that the WCRC. So, now we are waiting for the renewal. 


*******

 

Pemikiran Reformasi dan Pengaruhnya


Dunia sebagai panggung anugerah keselamatan Allah, di mana manusia berhadapan langsung dengan Allah baik dalam wilayah personal maupun wilayah publik, menjadi sorotan diskusi yang diadakan di BPK Gunung Mulia, pada 4 April 2017. Diskusi ini – yang diadakan oleh BPK Gunung Mulia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan GAMKI − merupakan awal dari rangkaian diskusi 500 tahun reformasi yang akan jatuh pada tanggal 31 Oktober 2017. Kegiatan ini diadakan dalam rajutan dengan semangat yang mendasari perayaan 500 tahun reformasi di tingkat mundial, yakni menemukan jalan bersama menuju keesaan.
Bagi para pembicara, Dr. Zakaria J. Ngelow dan Prof. Dr. B. S. Mardiatmadja, ada sejumlah titik tengkar yang muncul dalam gerakan reformasi, dan hal tersebut harus dibaca dalam konteks pergulatan sosial dan budaya di Eropa daratan; wilayah di mana reformasi terjadi. Mardiatmadja bahkan menekankan perlunya menangkap pergulatan personal para reformator (Martin Luther, Philip Melanchthon, Huldrych Zwingli, Johannes Calvin) mengingat di dalamnya terjadi ketegangan antara bergulatan batin individu (relasi personal manusia dengan Allah) berhadapan dengan gerak birokratis gereja. Menariknya, bagi Mardiatmadja, hal ini sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum Luther (1483–1546) dan para reformator lainnya. Tokoh-tokoh seperti Antonius dari Mesir (251–356), Benedictus Nursia (480-547), Bernardus Clairvaux (1090-1153), Fransiskus Assisi (1181-1226), Dominicus (1170-1221) dan Ignatius Loyola (1491-1556) juga bergumul dengan pembaruan batin di tengah situasi keagamaan yang bercorak formalitas.
Munculnya tokoh-tokoh tersebut (terkait pembaruan batin) juga menunjukan bahwa pada abad ke-12 ada kebutuhan pembaruan kehidupan keagamaan. Kebutuhan ini berlanjut terus pada abad ke-15 dan 16. Di sinilah berkembang agama rakyat yang menuntut koreksi terhadap kelembagaan, praktik dan ajaran gereja yang dipandang mengalami kemerosotan. Bagi Mardiatmadja − dengan merujuk buku yang di-review pada diskusi ini, yakni Sejarah Pemikiran Reformasi karya Alister E. McGrath − agama rakyat turut mendorong kemajemukan pandangan keagamaan yang, selain berelasi dengan arus nasionalisme di Eropa daratan, membuat kewibawaan gereja berada dalam sorotan. Perkembangan seperti ini tidak lepas dari munculnya era renaissance (abad ke-14 s/d 17) yang ditandai kebangkitan dalam seni dan literatur di Eropa. Di era ini humanism sebagai gerakan intelektual – yang memberi penghargaan pada manusia − lahir dan menjadi pijakan penting untuk memahami reformasi, khususnya terkait sikap terhadap teologi skolastik, kitab suci, bapa gereja, pendidikan maupun retorika (terkai peran pewarta dalam reformasi). Dalam konteks ini Mardiatmadja, dengan merujuk karya Alister E. McGrath, menyoroti pengaruh teologi skolastik ke dalam reformasi, yakni posisi Agustinus yang menekankan keputusan Allah (anugerah) untuk mengaruniakan rahmat kepada manusia.
Para reformator umumnya berada dalam posisi ini (keselamatan sebagai anugerah), namun dengan penekanan yang tidak selalu sama. Luther menekankan pembenaran oleh iman (Anugerah yang bertumpu pada penebusan Kristus) yang buahnya adalah pemulihan hubungan manusia dengan Kristus secara personal; sekaligus merefleksikan kehadiran Kristus secara personal dalam diri manusia. Sementara bagi Zwingli (1484-1531), buah dari penebusan adalah kehidupan bersama. Hal ini mengingat Zwingli menekankan firman (Alkitab) sebagai sumber tuntunan moral bagi kehidupan bersama. Buah dari iman dan anugerah Allah adalah masuknya orang percaya ke dalam tuntunan moral bagi kehidupan bersama; ini sekaligus merefleksikan kepastian relasi manusia dengan Allah. Martin Bucer (1491-1551) mengaitkan penebusan dengan pengudusan manusia (anugerah Allah atas orang berdosa) dan respon manusia dalam bentuk ketaatan terhadap tuntunan moral yang ada dalam Injil; ini dikenal dengan istilah “pembenaran ganda”. Posisi ini kemudian dirumuskan ulang  oleh Calvin (1509-1564) dengan istilah “anugerah  ganda”. Di sini Calvin tidak 100% sejalan dengan Bucer mengingat bagi Calvin pembenaran dan kelahiran kembali adalah buah dari pulihnya hubungan manusia dengan Kristus melalui iman. Perbedaaan seperti ini (ketegangan antara pembenaran secara personal dengan tuntutan moral) bisa juga dibaca dengan memperhatikan perbedaan konteks yang dihadapi para reformator. Di sini Ngelow memberikan catatan menarik, khususnya terkait konteks sosial di Swiss yang berbeda dari konteks Luther di Jerman. Swiss adalah negara konfederasi yang diisi oleh para pengungsi. Hal ini membuat ketertiban menjadi penting. Oleh karena itu, tanggungjawab moral dalam kehidupan bersama lebih menonjol di Swiss. Bagi Ngelow, inilah konteks yang membuat Calvin merumuskan teologi yang menekankan dunia sebagai panggung keadilan Allah.
Membaca pergulatan mengenai anugerah keselamatan Allah, yang menempatkan manusia berhadapan langsung dengan Allah, menjadi menarik  saat disandingkan dengan suasana kebatinan yang berlangsung dalam gerakan humanisme. Suasana tersebut adalah upaya membebaskan manusia dari sikap mental yang ditekan di bawah ortodoksi agama menuju kebebasan berpikir manusia. Oleh karena itu, rasanya tidak aneh juga saat Alkitab dan sakramen menjadi titik tengkar yang mewarnai gerakan reformasi. Di dalamnya terdapat gaung alam pikir gerakan humanisme yang meletakan kewibawaan pada sumber-sumber awal. Para reformator, sebagaimana disinggung Mardiatmadja, memberi penekanan pada kewibawaan kitab suci sehingga Vulgata (khususnya terkait status Apokrifa) dan sakramen diperiksa (dipertanyakan) kembali. Bagi Mardiatmadja, sekalipun terdapat perbedaan (terkait jumlah sakramen, presentia dan transubstantiatio), umumnya para reformator memiliki posisi yang sama dengan gereja mengenai dasar sakramen. Posisi tersebut adalah tindakan Allah yang mengakomodasikan diri ke dalam keterbatasan manusia. Dan di sini,  janji-janji Allah untuk terus hadir dalam kehidupan manusia dipentaskan dalam sakramen. Selain itu, titik tengkar yang ada juga digumuli dalam konsili Trente (1545-1547) yang menekankan pentingnya pewartaan dan menempatkan Alkitab sebagai sumber bersama dengan tradisi dan magisterium. Di kemudian hari, juctification sebagai salah satu titik tengkar penting dalam reformasi diurai dalam kesepakatan The Joint Declaration on the Doctrine of Justification; dokumen yang menegaskan bahwa baik Katolik maupun pihak Lutheran berbagi keyakinan yang sama, yakni Kristus sebagai yang utama dan satu-satunya mediator.
Dalam perjalanan reformasi abad ke-16 dan 17, sebagaimana dicatat oleh Ngelow, pemikiran politik terlalu muncul. Hal ini mengingat adanya relasi antara para reformator dengan pemerintah (penguasa) lokal. Luther misalnya didukung oleh para pangeran lokal di Jerman, sementara Zwingli dan Calvin didukung dewan kota. Ini bisa dibandingkan juga dengan catatan McGrath yang menggambarkan adanya simbiosis mutualisme antara para reformator dengan pemerintah lokal dalam rangka ketertiban umum dan upaya memerangi kelompok-kelompok bidat. Bagi Ngelow, pemikiran politik baru muncul di kemudian hari, misalnya pada generasi seperti Karl Barth (1886-1968), Reinhold Niebuhr (1892-1971) dan Dietrich Bonhoeffer (1906-1945). Sementara di Indonesia, tokoh seperti P. D. Latuihamallo (1918-2014) dan Eka Darmaputera (1942-2005) dapat menjadi rujukan. Selain itu, Konfesi Accra yang dihasilkan oleh World Alliance of Reformed Churches di Ghana pada tahun 2004 juga merupakan jejak pemikiran politik dari gerakan reformasi di kemudian hari.

*******
Penulis: Beril Huliselan




Bumi sebagai Tubuh Kehidupan

 (Seminar Agama-agama PGI ke-32 - Banjarmasin, 11-14 Januari 2017)


Frasa “bumi sebagai tubuh kehidupan” sesungguhnya hendak merefleksikan keterhubungan segala sesuatu di muka bumi. Dan karena itu, persoalan ekologi tidak bisa dibaca lepas dari pergumulan di wilayah keadilan sosial dan ekonomi.  Hal ini menjadi sorotan Seminar Agama-agama (SAA) ke-32 yang diadakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dari tanggal 11-14 Januari 2017 di Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Sorotan ini membuat agama-agama, khususnya gereja-gereja di Indonesia, perlu membaca kembali relasi manusia dengan bumi dalam rangka merawat kehidupan yang berpusat di muka bumi. Dalam pembacaan Pdt. Gomar Gultom (Sekum PGI), perspektif Kristen mengharuskan gereja-gereja membaca manusia dalam kesatuan dengan bumi; manusia dibentuk dari bumi (debu tanah; Kej 2:7) dan hidup dari bumi (Kej 3:19). Hal ini juga yang membuat PGI memberi perhatian pada keadilan ekologis, sebagaimana digariskan dalam sidang raya PGI di Nias (2014).
Apa yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom pada dasarnya bisa dibaca secara bersamaan dengan pembacaan agama lain, sekalipun tentu dengan bahasa dan narasi teologi yang berbeda. Kenapa demikian? Karena kerusakan ekologi, yang berjalan bersamaan dengan ketidakadilan sosio-ekonomi, telah membawa agama-agama berada dalam tantangan bersama untuk merefleksikan keberadaanya di tengah bencana ketidakadilan ekologis yang ada. Dari perspektif konghucu misalnya, sebagaimana disampaikan oleh wakil Matakin, manusia dan bumi pada dasarya adalah satu tubuh mengingat individu tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan komunitas dan alam.  Oleh karena itu, melukai alam berarti melukai tubuh itu sendiri, dan sekaligus merefleksikan prilaku yang semakin menjauh dari kebajikan Tuhan. Perspektif yang terfokus pada manusia (anthroposentris), dari sudut pandang Konghucu, dipandang tidak lagi memadai dalam membaca relasi manusia dengan alam. Posisi ini sesungguhnya di sadari juga oleh agama-agama lain, dan ini sekaligus menggambarkan bagaimana agama-agama bergelut untuk menemukan bahasa yang tepat dalam memahami kembali relasi manusia dengan alam.
Di dalam Islam, menurut Mochammad Maksum Machfoedz (wakil NU), dikenal relasi segitiga antara Allah (sang pencipta), sesama manusia dan alam. Relasi ini harus dijaga manusia (sebagai khalifah) mengingat Allah dipahami telah menetapkan segala sesuatu sesuai ukuran dan tempatnya. Apabila relasi ini terusik, keseimbangan yang ada pun akan terganggu. Inilah yang dipandang sebagai penyebab kerusakan, atau bahkan kehancuran, lingkungan hidup. Oleh karena itu, di dalam Islam, manusia tidak bisa memahami dirinya di luar tanggungjawab mengelola keseimbangan alam. Bahkan, menurut Mochammad Maksum Machfoedz, mengelola keseimbangan alam adalah ibadah yang harus dijalani manusia sebagai khalifah.
Di sini kita bisa melihat bahwa agama-agama memiliki titik berangkat yang sama di mana alam (bumi) tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang eksternal dari kehidupan manusia. Sebaliknya, keduanya saling terhubung satu dengan yang lain dalam konteks sustainability of life. Dalam bahasa Pdt. Martin Sinaga (salah satu pemakalah), posisi ini disebut “eko-spiritualitas” di mana manusia membaca dirinya dalam harmoni dengan alam.  Pembacaan seperti ini, bisa dikatakan, memperlihatkan terjadinya dialog agama-agama dengan kearifan lokal. Hal ini mengingat dalam agama lokal, sebagaimana digambarkan oleh Pdt. Marko Mahin (Dayak Kaharingan) dan Mijak (wakil suku anak dalam), siklus hidup manusia dipahami secara dialogis dengan siklus alam. Dan karena itu, keseimbangan relasi antara manusia dan alam menjadi penting dalam menopang sustainability of life.  
Apabila relasi tersebut (alam dan manusia) rusak, bencana ekologis menjadi tak terhindarkan. Di dalamnya terjadi kerusakan segitiga, yakni: alam, manusia (termasuk dunia sosio-budayanya) dan infrastruktur penopang kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat pada hasil penelitian Litkom PGI (2016) mengenai “Pergumulan dan Keterlibatan Gereja dalam Keadilan Ekologis”. Penelitian tersebut mencatat bahwa:
1.    Setidaknya 62% daratan di Indonesia (hingga 2015) telah dikapling oleh sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan;
2.    Berkembangnya konflik horizonal yang menggambarkan: rusaknya tatanan sosio-budaya masyarakat (termasuk hak sosio-budaya masyarakat), adanya ketimpangan kepemilikan atau penguasaan lahan, expansi modal dan ketidakmampuan pemerintah menjamin keselamatan rakyat (berdiri bersama rakyat);
3.    Terjadi 449 bencana banjir dan 131 bencana longsor. Dampak dari semua peristiwa tersebut, 60 orang meninggal dunia akibat banjir dan 166 orang longsor (data catatan WALHI tahun 2015); 
4.    Kebakaran hutan yang hampir terjadi di seluruh Indonesia, khususnya (terbanyak) di Sumatera, Kalimantan dan sebagian di pulau Jawa;
5.    Air tercemar karena pembuangan limbah;
6.    Dislokasi masyarakat sebagai akibat penguasaan hutan untuk industri ekstraktif;
7.    Kemampuan fungsi hutan sebagai penahan dan penangkap air menurun drastis, bencana longsor dan banjir mengancam setiap saat di musim penghujan;
8.    Naiknya angka kematian sebagai akibat bencana asap sebagai akibat praktek land clearing, dengan cara membakar, untuk kepentingan perkebunan;
9.    Berkembangnya prostitusi di wilayah-wilayah industri ekstraktif;
10. Terjadinya kemiskinan di daerah-daerah di mana industri ekstraktif berlangsung.
Di sini gereja-gereja berhadapan dengan tantangan yang rumit mengingat persoalan-persoalan tersebut terjadi di hadapan gereja-gereja. Dari penelitian yang ada, umumnya gereja-gereja merespon persoalan ini dengan bermain di wilayah pengajaran (khotbah, katekisasi, penerbitan materi-materi pengajaran mengenai lingkungan hidup), penanaman pohon dan tanggap darurat. Di luar ini, ada sedikit gereja yang bergerak di wilayah advokasi yang digalang secara lintas iman. Advokasi “Save Aru” menjadi contoh bagaimana gereja, dalam jaringan lintas iman, mengadvokasi salah satu isu ketidakadilan ekologis di Maluku. Dalam konteks “Save Aru”, ada beberapa hambatan yang sebenarnya juga dijumpai dalam pergumulan gereja-gereja di sejumlah tempat, yakni hambatan terkait cara berpikir intitusional, ketidaksiapan kapasitas gereja dan ketidakmampuan gereja berhadapan dengan penguasa ekonomi dan politik. Di luar ini, sebagaimana ditangkap dalam penelitian Litkom PGI, terdapat hambatan lain seperti:
1.    Adanya konflik kepentingan di internal gereja, yakni terkait keterlibatan anggota jemaat – dan bahkan gereja secara institusi – dalam industri ekstraktif;
2.    Hampir tidak ada aktivitas bersama lintas gereja dalam rangka pendataan dan kajian ketidakadilan ekologis;
3.    Ada cara pandang bahwa gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintah, misalnya terkait pemberian izin;
4.    Adanya pemisahan isu lingkungan hidup dari isu keadilan sosio-ekonomi dalam kegiatan gereja. Ini tampak dari fokus gereja - baik dalam pengajaran maupun aksi - yang lebih tertuju hal klasik dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya anjuran atau arahan agar tidak merusak lingkungan, aksi penanaman pohon, membuat lubang biopori, daur ulang sampah dan sebagainya.
Dalam catatan Pdt. Jacky Manuputty, advokasi “Save Aru” sesungguhnya menunjukan bahwa gereja memiliki kemampuan untuk bergerak lebih jauh, yakni sampai ke wilayah advokasi dalam merespon isu keadilan ekologis. Namun, hal ini menuntun kemauan dan keberanian gereja bergerak bersama-sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil.


Penulis: Beril Huliselan

********